Rabu, 12 Oktober 2011

manajemen mutu dalam pendidikan


PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKAN DAPAT MENDUKUNG TERWUJUDNYA GOOD GOVERNANCE
22 Oct 2009 oleh ravik  
1. PENDAHULUAN
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan ( termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi pemerintah dalam fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan di bidang pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan. Tata Administrasi Negara ( TAN) dan Tata Laksana Pemerintahan ( TLP) dalam bidang pendidikan haruslah dapat menyesuaikan dan menjawab tantangan tersebut.
Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan terkait dengan bagaimana usaha itu – dengan mengadopsi istilah penjejangan Sismennas dalam penyelenggaraan negara– maka perlu dilakukan baik pada jenjang kebijakan umum ( strategik), kebijakan manajerial, maupun kebijakan teknis ( Lemhannas, 2009). Salah satu di antaranya adalah kebijakan manajerial bisa dengan menerapkan manajemen mutu terpadu ( Total Quality Management) untuk mengantisipasi pesatnya pengaruh global atau yang sering disebut globalisasi.
Globalisasi bisa mengakibatkan hilangnya identitas kultur nasional, sedangkan kemampuan untuk bertahan tergantung pada akses kekuatan superpower, sehingga terajadi eksploitasi terhadap negara yang kurang berkembangpun akan terjadi. Namun, globalisasi adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan dalam hubungan antar negara. Globalisasi multisektor sebagai dua sisi mata uang yang menghadirkan kebaikan dan kerugian. Banyak konsep diciptakan negara maju baik di bidang ekonomi, politik, demokrasi, perlindungan HAM, pengelolaan Iingkungan hidup sampai pada konsep good governance terkait dengan peningkatan mutu. Salah satu di antaranya dapat kita kaitkan bagaimana hubungan antara peningkatan mutu dengan praktek good gavernance.
Good governance dalam konteks kepemerintahan secara legitimasi dapat dilihat dari sistem pemerintahannya itu sendiri dan bagaimana jalannya pemerintahan. Lalu secara akuntabilitas dapat dilihat dari eksistensi mekanisme keyakinan politik pemerintah terhadap aksi perbuatannya dalam menggunakan sumber publik dan performa perilakunya. Pemerintah dalam membuat kebijakan harus berpatokan kepada pelayanan publik yang efisien dan kapabilitas manajemen publik yang tinggi ( Effendi, 2005 ). Adapun problematika penerapan good governance antara lain bisa karena kurangnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan dan prosedur pelayanan yang sangat birokratis serta inefisiensi alokasi sumber-sumber publik. Ini yang menghambat pelaksanaan good governance dan akibatnya bisa fatal, misalnya, bisa membuat pengentasan kemiskinan dan/atau hal-hal lain yang penting justru tidak berjalan .
Dalam hal ini manajemen mutu terpadu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan good governance bisa ditempatkan sebagai metodologi atau teknik manajemen untuk mencapai tujuan peningkatan mutu itu sendiri, dan dalam tulisan ini akan dibahas khususnya di bidang pendidikan yang alur pikirnya, seperti dalam lampiran 1.
Dalam esay ini akan dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, bagaimana penerapan manajemen mutu dalam pendidikan dapat mendukung terwujudnya good governance. Judul yang dirumuskan adalah: Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan dapat Mendukung Terwujudnya Good Governance
2. PEMBAHASAN
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya paradigma baru pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu ( Wirakartakusumah, 1998).
Istilah mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
Unsur-unsur paradigma baru pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya .
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
Suatu pengendalian dan akreditasi dari luar diperlukan melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan yang berwenang.
Adapun evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal.
Bagaimana Menghasilkan Mutu Pendidikan?
Untuk bisa menghasilkan mutu pendidikan menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1. Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” di antara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2. Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah di antara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain dapat dikatakan sebagai usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut atau fihak-fihak berkepentingan lainnya.
Para pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok ( Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan di atas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, akan menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
Usaha menghasilkan mutu pendidikan dalam konteks mewujudkan good governance, secara umum kita kenal ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance (, yakni: pemerintah (the state), masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil (civil society), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan di bidang pendidikan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti. Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas dalam bidang pendidikan.
Good governance yang diartikan sebagai kepengelolaan dan kepengurusan yang baik, merupakan istilah yang sangat populer, menjadi isu sentral penyelenggaraan negara dalam sekala global. Konsep itu muncul dari upaya untuk menciptakan standarisasi pengeloalan dan kepengurusan pemerintahan yang baik, dikaitkan dengan tingkat kompetitif bidang ekonomi. Menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ( 2006 ), ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik (termasuk dalam bidang pendidikan ) adalah, meliputi: Satu, setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung . Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasasiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Dua, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk HAM. Tiga, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses- proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. Empat, lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Lima, good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Enam, laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Tujuh, poses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Delapan, pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Sembilan, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan).
Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah sama-sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang).
Masalah-masalah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia yang terpenting adalah mengenai : peningkatan mutu, pemerataan kesempatan pendidikan, dan relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional. Demikian luas dan jauhnya jangkauan yang hendak dicapai oleh program pembangunan pendidikan kita, padahal di lain pihak sumber-sumber yang tersedia bertambah terbatas dan langka.
Kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pemecahan masalah-masalah pendidikan kita membutuhkan alternatif-alternatif lain disamping cara-cara penyelesaian manajemen. Berbagai potensi yang dimiliki oleh teknologi dalam pendidikan lantas memungkinkannya diajukan sebagai suatu alternatif untuk ikut memecahkan masalah-masalah tadi. Paduan penyelesaian antara manajemen dan teknologi akan menyumbangkan penyelesaian yang baik. Di sinilah lalu kita kenal apa yang disebut dengan keterpaduan kebijakan manajerial dan kebijakan teknis ( Lemhannas, 2009).
Jika semula teknologi pendidikan (dalam arti yang sangat terbatas) dipandang hanya berperan pada taraf pelaksanaan kurikulum di kelas, maka konsepsi baru dalam tataran teknis menghendaki teknologi pendidikan sebagai masukan (input) bahkan diperlukan sejak tahap perencanaan kurikulum. Dengan demikian sudah sejak perencanaan, pelaksananan ( termasuk kurikulum), sampai evaluasinya harus pula dikaji dan ditentukan bentuk teknologi pendidikan yang akan diterapkan.
Pemilihan teknologi dalam pendidikan akan membuka kemungkinan untuk lahirnya berbagai alternatif bentuk kelembagaan baru yang menyediakan fasilitas belajar, disamping dapat melayani segala bentuk lembaga pendidikan yang telah ada. Misalnya kemungkinan bagi suatu bentuk sekolah terbuka yang fasilitas dan tata belajarnya berbeda sekali dengan sekolah konvensional, tetapi dengan hasil (output) yang sama.
Serangkaian kriteria pemanfaatan teknologi dalam bidang pendidikan, antara lain: harus dijaga kesesuaiannya (kompatibilitas) dengan sarana dan teknologi yang sudah ada, dapat menstimulasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta mampu memacu usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian, adanya penerapan suatu teknologi dalam pendidikan akan sangat mungkin terjadi perubahan besar-besaran dalam interaksi belajar mengajar antara sumber-sumber belajar dengan pelaku belajar, bahkan sistem manajemennya. Salah satu kemungkinan perubahan tersebut adalah penerapan dan perubahan teknologi komunikasi dan informasi (ICT ) dalam pendidikan. Kita mengenal sistem informasi manajemen (SIM) yang menggunakan ICT sebagai pendukung utamanya ( Lemhannas, 2009 b). Di bidang pendidikanpun sangat mungkin diterapkan SIM tersebut untuk menunjang pengembangan mutu.
Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni ”yang bermakna”, dalam arti : (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4) sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada
Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), maka informasi tersebut haruslah informasi yang bermakna bagi orang yang bersangkutan. Untuk dapat mengetahui dan memahami informasi yang benar-benar dibutuhkan, bahkan prioritas informasi yang dibutuhkan perlu kita pahami, komunikator perlu bertindak sebagai pengamat dan pendengar yang baik. Jadi bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran/pelanggan.
Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan, dan yang bermanfaat untuk mendorong terjadinya perubahan tersebut. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya.
Sejarah, kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, telah menawarkan pencerahan baru. Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono, 1999).
Akibat adanya revolusi teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruknya suatu teknologi, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dan dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya haruslah diperhitungkan, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal.
Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan ), segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya? Demikian juga dengan sistem manajemennya yang seperti apa?
Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut.
Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi dan sistem manajemennya, maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong untuk berorientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, juga akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Peranan manajemen mutu terpadu sangatlah penting dikaitkan dengan pelaksanaan good governance di bidang pendidikan. Beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance menurut Effendi ( 2005), adalah: Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak di luar pemerintah yaitu masyarakat untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka ( dalam hal ini pelanggaran atau stake holder lembaga pendidikan). Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah maupun lembaga pendidikan dapat lebih efektif bekerja. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting ( di sini bererti efektifitas dan efisiensi yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan pendidikan). Ketiga, praktek good governance adalah praktek pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik ( yaitu kepentingan pelanggaan pendidikan). Dapat disimpulkan bahwa sebetulnya, ketiga karakteristik good governance tersebut adalah merupakan penerapan implementasi mamajemen mutu terpadu juga ,yaitu untuk pencapaian tujuan nasional di bidang pendidikan.
Ketika pemerintahan dinilai mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik (sesuai dengan prinsip good governance), adalah ketika pemerintah menerapkan prinsip manajemen mutu terpadu juga
Di dalam mengembangan praktek good governance, pemerintah perlu memilih strategi/metodologi yang jitu. Untuk melakukan praktek good governance, mengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis. Menerapkan praktek good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik ( dalam istilah MMT yaitu memenuhi kebutuhan pelanggan).
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik ( memenuhi kebutuhan pelanggan) menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas ( dalam hal ini pelanggan). Keberhasilan mempraktekkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat luas ( pelanggan) bahwa menerapkan good governance bukan hanya sebuah mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktek good governance seperti efisien, non diskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan publik /pelanggan. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak. Pemerintah mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang semuanya memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Dengan memulai perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sipil dan para pelanggan ( dapat disebut juga pemangku kepentingan), upaya melaksanakan good governance akan memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan ( Damiri, 2007).
Untuk mewujudkan hal itu, perlu pendekatan yang harus sekaligus dilakukan, antara lain: (1) menetapkan kebijakan tentang pentingnya mutu dalam pendidikan dan (2) kemudian memasyarakatkan pedoman good governance secara nasional ( melalui pedoman manajemen mutu terpadu bidang pendidikan). Dalam konteks Sismennas, yang pertama merupakan kebijakan umum/strategis di tingkat nasional dan yang kedua merupakan kebijakan manajerial , baik untuk kalangan korporasi maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral bidang pendidikan ( sebagai kebijakan teknis) . Seharusnya, pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
Pendekatan lainnya adalah perlu dilakukan penyuluhan, konsultansi, dan pendampingan bagi pihak-pihak terkait maupun kantor Pemerintah yang bermaksud untuk mengimplementasikan good governance dalam bidang pendidikan, dengan melakukan kegiatan, misalnya self assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada masing-masing instansi dan Pemerintah Daerah. Selain itu, bisa juga dengan memperbanyak agen-agen perubahan mutu dengan mengembangkan training bagi pejabat-pejabat publik dan pimpinan lembaga pendidikan tentang manajemen mutu terpadu ini.
Karakteristik yang melekat dalam praktek good governance di bidang pendidikan harus memberi ruang kepada pihak diluar pemerintah/ terutama masyarakat ( pelanggan ) untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara mereka. Dengan demikian maka peranserta masyarakat madani (civil society ) sangatlah penting dalam menerapkan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan guna menunjang terwujudnya good governance.
3. PENUTUP
Tuntutan akan mutu dalam bidang pendidikan adalah suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari. Hal ini juga merupakan tuntutan akan perlunya prakten good governance dalam bidang pendidikan. Untuk mencapai mutu diperlukan metodologi yang tepat untuk implementasinya, dan pilihan itu adalah manajemen mutu terpadu ( MMT ) atau dikenal dengan Total Quality Management ( TQM) dalam bidang pendidikan.
Untuk implementasinya diperlukan kebijakan umum/strategis di tingkat nasional dan kebijakan manajerial , baik untuk kalangan lembaga pendidikan maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral bidang pendidikan ( sebagai kebijakan teknis) tentang MMT tersebut.
Dengan adanya perkembangan teknologi yang cepat menuntut pula penerapan teknologi dalam pendidikan di era informasi yang tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis teknologi informasi dalam praktek pendidikan, baik dalam tataran kebijakan strategis, kebijakan manajerial, maupun kebijakan teknis.
Untuk mencapai mutu pendidikan diperlukan pendekatan yang antara lain perlunya penekanan perubahan cara pandang (mindset), penyuluhan, pendampingan dan pemberdayaan unsur penyelenggara negara dan lembaga dalam bidang pendidikan, aplikasi teknologi yang menunjang sistem manajemen pendidikan, serta pilihan-pilihan strategis lainnya, sehingga semuanya itu dapat mendukung untuk mewujudkan good governance khususnya di bidang pendidikan (rk).

IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM) DI BIDANG PENDIDIKAN

I. Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yang disebut TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah pengawasan menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (warga sekolah) terhadap kegiatan sekolah. Penerapan TQM berarti semua warga sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan.
Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai dari komite sekolah, kepala sekolah, kepala tata usaha, guru, siswa sampai dengan karyawan harus benar-benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yang terlibat harus memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM.
Dalam ajaran TQM, lembaga pendidikan (sekolah) harus menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam istilah perusahaan sebagai “ stakeholders” yang terbesar, maka suara siswa harus disertakan dalam setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi oleh pihak – pihak tertentu yang seringkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Setiawan: 2000).
Penerapan TQM berarti pula adanya kebebasan untuk berpendapat. Kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara siswa dengan guru, antara siswa dengan kepala sekolah, antara guru dan kepala sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh warga sekolah. Pentransferan ilmu tidak lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis.
Selain kebebasan berpendapat juga harus ada kebebasan informasi. Harus ada informasi yang jelas mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan informasi seluas- luasnya bagi warga sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi adalah progran-program, serta kondisi finansial.
Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan menghambat potensi perkembangan sekolah itu sendiri.
II. PERMASALAHAN
Permasalahan yang ingin penulis kupas dalam paper ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan Manajemen Mutu Terpadu (TQM)?
2.      Apa yang menjadi kesulitan implementasi TQM di bidang Pendidikan?
3.      Apa yang menjadi indikator keberhasilan implementasi TQM di bidang pendidikan?
III. TUJUAN PENULISAN
Dari permasalahan yang penulis pilih, penulis mempunyai tujuan:
1.      Menjelaskan pengertian Manajemen Mutu Terpadu (TQM).
2.      Menjelaskan kesulitan-kesulitan implementasi TQM di bidang pendidikan.
3.      Mengidentifikasi indikator-indikator keberhasilan implementasi TQM di bidang pendidikan.
IV. PEMBAHASAN
Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin menjadi semakin efektif, dalam arti menjadi semakin bermanfaat bagi sekolah itu sendiri dan bagi masyarakat luas penggunanya. (Santoso: 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut menjadi nyata, kiranya kepala sekolah perlu memahami, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini telah dikembang-mekarkan oleh pemikir-pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi adalah TQM atau Manajemen Mutu Terpadu.
1.      Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan usaha/perusahaan dan industri, yang telah terbukti keberhasilannya dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing – masing dalam kondisi bisnis yang kompetitif. Kondisi seperti ini telah mendorong berbagai pihak untuk mempraktekannya di lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan lembaga pendidikan.
Menurut Nawari (2005: 46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional dengan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produknya sesuai dengan standar kualitas dari masyarakat yang dilayani dalam pelaksanaan tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan masyarakat (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yang harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja sebagai kegiatan memproduksi sesuai yang berkualitas. Setiap pekerjaan dalam manajemen mutu terpadu harus dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan dan alat), pelaksanaan teknis dengan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Cassio seperti yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005: 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components:
1.      A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2.      Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3.      Quality concept (e.g. statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4.      A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5.      A focus on employee involvement, teamwork, and training at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6.      An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7.      Recognition of supliers as full partners in quality management process.
Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Tjiptono dan Diana (1998) yang mengatakan bahwa “ TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Tjiptono dan Diana (1998) menyatakan pula bahwa “ Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Nawawi (2005: 127) mengemukakan tentang karakteristik TQM sebagai berikut:
1.      Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal
2.      Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3.      Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4.      Memiliki komitmen jangka panjang.
5.      Membutuhkan kerjasama tim
6.      Memperbaiki proses secara kesinambungan
7.      Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
8.      Memberikan kebebasan yang terkendali
9.      Memiliki kesatuan yang terkendali
10.  Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
B. Manajemen Mutu Terpadu dalam Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses untuk mewujudkannya, merupakan bagian yang tidak mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini disebabkan oleh karena ukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yang berhasil dibangun, tetapi juga berkenaan dengan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya.
Demikian juga jumlah lulusan yang dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit untuk ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yang bersifat non profit, menurut Nawari (2005: 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Produktivitas Internal, berupa hasil yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
2.      Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, karena bersifat kualitatif yang hanya dapat diketahui setelah melewati tenggang waktu tertentu yang cukup lama.
Masih menurut Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu dapat dikatakan sukses, jika menunjukkan gejala – gejala sebagai berikut :
1.      Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2.      Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin berkurang.
3.      Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat
4.      Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali dan tidak berkurang/hilang tanpa diketahui sebab – sebabnya.
5.      Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan, mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6.      Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah.
7.      Peningkatan ketrampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat.
Berkenaan dengan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Cassio dalam bukunya Nawawi mengatakan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Tjiptono dan Diana (1996) yang mengatakan : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Dilihat dari pengertian kualitas yang terakhir seperti tersebut di atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan oleh pihak luar di luar organisasi yang disebut konsumen, yang selain berbeda-beda, juga selalu berubah dan berkembang secara dinamis.
Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan jika tidak didukung dengan tersedianya sumber-sumber untuk mewujudkan kualitas proses dan hasil yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat berbagai sumber kualitas yang dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal. Menurut Nawawi (2005: 138-141), beberapa di antara sumber-sumber kualitas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini tidak mungkin diciptakan dan dikembangkan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen yang berorentasi pada kualitas produk dan pelayanan umum.
2.      Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat penting karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung pada ketersediaan informasi dan data yang akurat, cukup/lengkap dan terjamin kekiniannya sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas pokok organiasi.
3.      Sumberdaya manusia yang potensial
SDM di lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif dalam arti dapat dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM juga merupakan potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) untuk mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas pokok sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yang masih bersifat potensial dan dapat dikembangkan.
4.      Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi sebagai sumber kualitas, sama pentingnya satu dengan yang lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi harus dilibatkan secara maksimal, sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya.
5.      Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber – sumber kualitas yang ada bersifat sangat mendasar, karena tergantung pada kondisi pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon untuk dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan pada individu kepala sekolah sebagai sumber kualitas, karena sikap dan perilaku individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan kata lain sumber kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yang berkesinambungan dalam merealisasikan TQM.
Semua sumber kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yang harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama dengan warga sekolah yang ada dalam lingkungan tersebut. Menurut Nawawi (2005: 141), dimensi kualitas yang dimaksud adalah :
1.      Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan gambaran konkrit dari kemampuan mendayagunakan sumber – sumber kualitas, yang berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi organisasi (sekolah).
2.      Iklim Kerja
Penggunaan sumber-sumber kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yang diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di dalam tim kerja, yang saling menghargai dan menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan inovasi untuk selalu meningkatkan kualitas.
3.      Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-sumber kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap dalam melaksanakan tugas pokok dan hasil yang dicapai oleh organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yang dilayani (siswa).
4.      Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber – sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil untuk menyesuaikan proses pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya dengan karakteristik operasional dan standar hasilnya berdasarkan ukuran kualitas yang disepakati.
5.      Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yang dapat diamati dari pendayagunaan sumber – sumber kualitas yang efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.
6.      Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan sumber – sumber kualitas yang sukses di lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi masyarakat (brand image) dalam bentuk citra dan reputasi yang positip mengenai kualitas lulusan baik yang terserap oleh lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.
C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial siswa/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan dengan sebenarnya tidak dengan setengah hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di tempat seperti saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut dapat dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.
Implementasi TQM di organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak mudah. Adanya hambatan dalam budaya kerja, unjuk kerja dari guru dan karyawan sangat mempengaruhi. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil di negara kita ini sangat rendah. Ini sangat mempengaruhi efektifitas implementasi TQM.
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah mengadopsi prinsip-prinsip TQM ternyata tidak serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya dapat meningkatkan kompetensi siswa kita. Menurut penulis, yang paling pertama diperbaiki adalah budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin dari pelaksana sekolah (guru, karyawan dan kepala sekolah). Semuanya harus dapat memandang siswa sebagai “pelanggan”, yang harus dilayani dengan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka.
Pelaksana sekolah selalu bersemangat untuk maju, bersemangat terus untuk menambah kemampuan dan ketrampilannya yang pada akhirnya akan meningkatkan unjuk kerja mereka di hadapan siswa. Apabila semua pelaksana sekolah sudah mempunyai budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM dapat secara nyata berjalan dan akan menjadikan organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, memiliki brand image yang semakin tinggi dan pada akhirnya dapat menciptakan kader – kader bangsa yang berkualitas dan dapat disejajarkan dengan bangsa lain.
Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat dipengaruhi oleh sistem penghargaan negara (gaji) yang rendah terhadap PNS. Ini menyebabkan tidak sedikit kewajiban di organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS dan justru yang utama berada di kegiatan luar organisasi karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat.
Angin segar telah berhembus bagi guru khususnya, dengan telah adanya UU Guru dan Dosen yang menjadi payung hukum dan menjamin peningkatan kesejahteraan Guru dan Dosen. Tetapi masih menjadi pertanyaan besar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja agar tidak berdemo?”.
Apabila UU tersebut benar dilaksanakan, apakah akan benar – benar dapat meningkatkan kinerja guru? Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan dari warga sekolah secara bersama, sadar, dan berkeinginan yang kuat untuk maju.
V. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan :
1.      Manajemen Mutu Terpadu(TQM) adalah suatu sistem manajemen yang mendayagunakan sumber – sumber kualitas yang ada dalam organisasi melalui tahapan – tahapan manajemen secara terkendali untuk meningkatkan kualitas pelayanan pada pelanggan secara efektif dan efisien.
2.      Kesulitan penerapan TQM dalam bidang pendidikan adalah kesulitan dalam penentuan kualitas produknya (lulusan) yang lebih bersifat kualitatif.
3.      Implementasi TQM di bidang pendidikan dikatakan berhasil jika dapat ditemukan ciri-ciri sebagai berikut :
·         Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
·         Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin berkurang.
·         Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat
·         Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali dan tidak berkurang/hilang tanpa diketahui sebab – sebabnya.
·         Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan, mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
·         Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah.
·         Peningkatan ketrampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat.
DAFTAR PUSTAKA